ANTI
MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan
praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat mengatur kegiatan bisnis yang
baik dalam arti tidak merugikan pelaku usaha lain. Monopoli tidak dilarang
dalam ekonomi pasar, sejauh dapat mematuhi “rambu-rambu” atau aturan hukum
persaingan yang sehat. Globalisasi ekonomi menyebabkan setiap negara di dunia
harus “rela” membuka pasar domestik dari masuknya produk barang/jasa negara
asing dalam perdagangan dan pasar bebas. Keadaan ini dapat mengancam ekonomi
nasional dan pelanggaran usaha, apabila para pelaku usaha melakukan perbuatan
tidak terpuji.
Pengaturan hukum persaingan usaha atau bisnis melalui UU No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (LN 1999 No.
33, TLN No. 3817) diberlakukan secara efektif pada tanggal 5 Maret 2000 merubah
kegiatan bisnis dari praktik monopoli yang terselubung, diam-diam dan terbuka
masa orde baru menuju praktik bisnis yang sehat. Pemberlakuan UU No. 5 Tahun
1999 selama ini perlu dilakukan kaji ulang, guna mengetahui implikasi penerapan
kompetisi yang “sehat” dan wajar di antara pengusaha atau pelaku usaha dalam
sistem ekonomi (economic system) terhadap demokrasi ekonomi yang diamanatkan
Pasal 33 UUD 1945.
UU No. 5 Tahun 1999 merupakan salah satu perangkat hukum untuk menunjang
kegiatan bisnis yang sehat dalam upaya menghadapi sistem ekonomi pasar bebas
dengan bergulirnya era globalisasi dunia dan demokrasi ekonomi yang
diberlakukan di tanah air. Selain itu, undang-undang ini juga mengatur tentang
larangan praktik monopoli dan persaingan usaha yang dapat merugikan kegiatan
ekonomi orang lain bahkan bagi bangsa dan negara ini dalam globalisasi ekonomi.
Keberadaan undang-undang anti monopoli ini menjadi tolok ukur sejauh mana
pemerintah mampu mengatur kegiatan bisnis yang sehat dan pengusaha mampu
bersaing secara wajar dengan para pesaingnya.
Semua ini bertujuan untuk mendorong upaya efisiensi, investasi dan kemampuan
adaptasi ekonomi bangsa dalam rangka menumbuhkembangkan potensi ekonomi rakyat,
memperluas peluang usaha di dalam negeri (domestik) dan kemampuan bersaing
dengan produk negara asing memasuki pasar tanah air yang terbuka dalam rangka
perdagangan bebas (free trade).
Semua ini didasarkan pada pertimbangan setelah Indonesia menjadi anggota organisasi
perdagangan dunia (WTO) dengan diratifikasi UU No. 7 Tahun 1994 tentang
Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization pada tanggal 2
Nopember 1994 (LN Tahun 1994 No.95, TLN No. 3564).
Pada waktu bersamaan diharapkan pengusaha nasional mampu untuk bersaing dengan
“sehat“ di pasar-pasar regional dan internasional pada iklim globalisasi
ekonomi sebagai tata ekonomi dunia baru. Pengaturan persaingan bisnis juga
bertujuan untuk menjamin usaha mikro dan usaha kecil mempunyai kesempatan yang
sama dengan usaha menengah dan usaha besar atau konglomerasi dalam perkembangan
ekonomi bangsa.
Pengaturan ini melindungi konsumen dengan harga yang bersaing dan produk
alternatif dengan mutu tinggi mengingat pengaturan tersebut mencakup pada
bidang manufaktur, produksi, transportasi, penawaran, penyimpanan barang dan
pemberian jasa-jasa.
Persaingan usaha dapat terjadi dalam negosiasi perdagangan, aturan liberalisasi
pasar dan inisiatif penanaman modal asing yang berpindah-pindah dikaitkan
kebijakan pemerintah di dalam negeri untuk memenangkan persaingan bagi
pengusaha nasional di pasar regional dan internasional.
Persaingan yang sehat di pasar dalam negeri merupakan bagian penting “public
policy” pada pembangunan ekonomi yang dinyatakan TAP MPR RI No. IV/MPR/1999
tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 – 2004 dan TAP MPR RI No.
II/MPR/2002 tentang Rekomendasi Kebijakan untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi
Nasional yang menegaskan “mengoptimalkan peranan pemerintah dalam mengoreksi
ketidaksempurnaan pasar dengan menghilangkan seluruh hambatan mengganggu
mekanisme pasar melalui regulasi, layanan publik, subsidi dan insentif yang
dilakukan secara transparan dan diatur dengan undang-undang”.
Semua ini bertujuan untuk menumbuhkembangkan kapasitas pengusaha nasional yang
andal dan kuat bersaing di pasar regional dan internasional. Selain itu,
kebijakan ekonomi pemerintah mampu meyakinkan para investor asing dan ekportir
luar negeri mendapat kesempatan yang sama untuk bersaing di pasar dalam negeri dengan
pengusaha lokal/nasional dalam mekanisme pasar yang sehat. Tujuan kebijakan
persaingan usaha adalah menumbuhkan dan melindungi para pengusaha melakukan
“persaingan sehat” yang dapat dilaksanakan dalam kegiatan ekonomi. Persaingan
antar perusahaan adalah pembeli dan penjual memiliki pilihan yang luas kepada
siapa untuk berhubungan dagang. Tujuan lain mengurangi atau melarang terjadi
konsentrasi kekuatan ekonomi pada pelaku ekonomi tertentu. Ekonomi pasar yang
bersaing tidak terjadi dengan sendirinya.
Kompetisi yang sehat dalam kegiatan ekonomi negara harus diikuti kebijakan
liberalisasi, deregulasi dan privatisasi badan usaha yang tidak sehat atau
failit (bangkrut). Upaya ini dilakukan untuk mengantisipasi pasar bebas agar
kebijakan publik di bidang ekonomi yang merugikan kegiatan bisnis dapat
dihilangkan. Akibat persaingan usaha, pengusaha dalam kegiatan bisnis melakukan
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat bahkan melampaui batas-batas
negara dengan melanggar perdagangan dunia. Pada era globalisasi ekonomi,
kesepakatan bisnis mengubah bentuk perdagangan dunia dalam waktu singkat
menjadi perkampungan global (global village). Kesepakatan ini merugikan
kepentingan negara-negara berkembang dan negara-negara miskin yang tidak siap
menghadapi perubahan ekonomi dunia pasca dibentuknya WTO.
Globalisasi adalah upaya menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi persaingan
usaha dalam dua hal. Pertama, perdagangan antar negara menumbuhkan investasi
dan produksi melewati batas-batas negara. Kegiatan yang berimplikasi
persaingan, seperti praktik cross border pricing, hambatan masuk (barrier
entry) dan pengambilalihan usaha dalam ekonomi baru bertambah. Kedua,
pemerintah negara-negara berkembang khawatir terhadap kemampuan pengusaha
nasional sehingga berusaha menciptakan lingkungan usaha yang sehat dan
memungkinkan produk domestik oleh pengusaha mampu bersaing dengan manufaktur
barang impor di dalam negeri dan sebagai eksportir masuk ke pasar luar negeri
dalam rangka perdagangan dan pasar bebas.
Kebijakan persaingan usaha bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu dalam
kegiatan bisnis. Akan tetapi kebijakan ini berlawanan dengan kepentingan dunia
usaha memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, karena kebijakan persaingan
usaha yaitu menambah kesejahteraan atau kepuasan konsumen dengan menyediakan
pilihan produk baru dan menciptakan harga bersaing di antara produk tersedia
untuk kebutuhan barang konsumsi sehari-hari. Selain itu untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi domestik dan memperbaiki alokasi efisiensi dalam kaitan
sumber alam yang terbatas, memperbaiki kemampuan domestik untuk berpartisipasi
pada pasar global, dan mendorong kesempatan sama ‘dunia usaha’ melalui kegiatan
ekonomi yang sehat.
B. LARANGAN MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
Percaturan dunia usaha yang semakin kompetitif dan komparatif dalam menggaet
konsumen sebanyak-banyaknya dan memperluas pemasaran tidak dapat dielakkan
lagi. Monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat terjadi yang dilakukan
oleh para pelaku bisnis dalam upaya penguasaan pasar seluas-luasnya, baik di
dalam maupun luar negeri. Perilaku usaha tidak sehat ini merugikan menciptakan
pasar yang sehat dan adil.
Pada era Orde Baru di Indonesia, contohnya, monopoli yang dilakukan oleh Liem
Sie Liong terhadap komoditi terigu, makanan fast food, semen dan kertas
berjalan mulus karena taipan ini dekat dengan pusat kekuasaan, yaitu RI 1 alias
Presiden Soeharto. Begitu juga halnya “Keluarga Cendana” yang menguasai tata
niaga cengkeh, jeruk, bioskop dan jalan tol tidak dapat dihindarkan dengan
kebijakan ekonomi pemerintah Orde Baru beraroma korupsi, kolusi dan nepotisme
cenderung menguntungkan segelintir orang melalui ekonomi “terpusat”, yakni di
tangan presiden. Praktek ketatanegaraan Indonesia saat itu menempatkan bahwa presiden
tidak hanya sebagai penguasa di bidang politik dan hukum akan tetapi juga
sebagai penguasa ekonomi.
Di Amerika Serikat sebagai negara demokrasi dan kapitalis ternyata praktek
monopoli juga ada. Bill Gate dengan bendera bisnis, Microsoft memonopoli pangsa
pasar penjualan software atau perangkat lunak komputer yang menimbulkan protes
keras dari saingan bisnisnya, karena berlawanan dengan sistem ekonomi kapitalis
Amerika Serikat yang membuka kebebasan usaha sebesar-besarnya bagi para
pengusaha.
Selama ini di dunia, dikenal tiga bentuk sistem ekonomi yang dipakai oleh
setiap negara dalam kegiatan ekonomi nasionalnya. Pertama, sistem ekonomi
kapitalis (capital economy system), yakni sumber daya ekonomi dialokasikan
melalui mekanisme pasar. Kedua, ekonomi yang direncanakan secara terpusat
(centrally planned economy) di mana sumber daya ekonomi dialokasikan oleh
pemerintah yang berkuasa. Ketiga, sistem ekonomi campuran (mixed economy
system) di mana sumber daya ekonomi dialokasikan, baik oleh pasar maupun pemerintah
secara bersama-sama.
Praktek penguasaan bisnis berupa monopoli (monopoly) dan persaingan usaha tidak
sehat (unfair competition) yang sangat menonjol biasanya terdapat dalam sistem
ekonomi kapitalis dibandingkan pada sistem ekonomi yang direncanakan secara
terpusat dan sistem ekonomi campuran. Sebab pada kedua sistem ekonomi terakhir
ini, kontrol pemerintah terhadap kegiatan ekonomi relatif kuat dalam
perdagangan dengan adanya regulasi dan kebijaksanaan ekonomi pemerintah yang
cukup ketat. Sebaliknya, sistem ekonomi kapitalis dalam masyarakat liberal
biasanya kontrol pihak pemerintah terhadap kegiatan ekonomi relatif lebih
longgar, karena adanya mekanisme pasar yang memberi kebebasan seluasnya kepada
produsen dan konsumen untuk menentukan harga.
Monopoli yang tidak terkontrol dalam sistem ekonomi ini melahirkan monopoli
pasar melalui cara praktik kartel, diskriminasi harga, pembagian pasar dan
sebagainya.
Bahaya monopoli masyarakat Barat diungkapkan, “that the monopolist stops
expanding output at the point where his marginal revenue and marginal cost
cuves intersect”.
Monopoli ekonomi demikian tidak sehat, karena dapat mengurangi persaingan dalam
kegiatan industri dan menghambat para pelaku ekonomi lainnya untuk memasuki
bidang usaha tersebut. Merugikan kegiatan ekonomi atau bisnis adalah tiada
persaingan usaha memungkinkan suatu perusahaan menaikkan harga semaunya di atas
tingkat harga wajar, karena tidak ada produk alternatif untuk dipilih konsumen.
Selain itu tidak mendorong perusahaan mencari penemuan baru, mengurangi atau
menetapkan ongkos produksi yang rendah untuk barang/jasa atau memperbaiki
teknologi produksi dalam persaingan dengan produk negara lain di pasar
internasional dengan berlaku era globalisasi yang melibatkan “recognizing the
particular genius of employee” perusahaan beroperasi di dunia tanpa melihat
siapa orang atau kewarganegaraan. Keunggulan produk barang/jasa perusahaan
menentukan dalam persaingan usaha antar negara dalam globalisasi ekonomi.
Penghargaan didasarkan atas karya atau produk yang hebat serta usaha untuk
menciptakan kemajuan perusahaan tanpa batas dalam menghadapi persaingan bisnis.
Anthony Giddens menamakan era globalisasi ini sebagai runaway world atau dunia
yang tidak terkendalikan akibat dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Keadaan ini diramalkan semakin tidak terkendali dalam kegiatan ekonomi,
terutama saat berlakunya Asean Free Trade Agreement (AFTA) tahun 2003, Asia
Pacific Economic Co-operation (APEC) tahun 2010 dan World Free Trade tahun 2020
apabila praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat pemerintah tidak
mengaturnya dengan baik.
Persaingan pasar berjalan dengan baik apabila tidak ada tindakan diskriminatif
atau restriktif oleh suatu negara terhadap produk negara lain. Tindakan
diskriminatif dan restriktif dapat menimbulkan distorsi pasar bagi produsen
negara-negara maju di pasar negara berkembang. Kebijakan ekonomi negara-negara
berkembang dan miskin tentu ingin menyelamatkan produk dalam negeri yang
berlawanan dengan perdagangan bebas, karena pengusha negara berkembang belum
siap menghadapi persaingan pasar bebas dengan meningkatnya serbuan produk
barang/jasa dari negara-negara maju.
Selama ini dalam sistem ekonomi kapitalis terdapat beberapa bentuk perbuatan
monopoli yang dilarang undang-undang anti monopoli.
Pertama, horizontal merger. Tindakan ini dilakukan antara dua perusahaan besar
dengan merger (penggabungan usaha) untuk menguasai pasar. Semula kedua
perusahaan besar bersaing merebut pasar. Hasil merger menghapuskan persaingan.
Kedua, joint monopolization. Monopoli ini tidak dilakukan oleh satu perusahaan.
Dua atau lebih perusahaan dapat bekerja sama dengan kekuatan mampu menciptakan
monopoli. Misalnya tiga perusahaan sendiri-sendiri tidak mampu melakukan
monopoli. Merger ketiga perusahaan menimbulkan praktik monopoli dalam kegiatan
bisnis.
Ketiga, predatory. Tindakan dalam kegiatan bisnis yang membuat pelaku ekonomi
baru tidak dapat memasuki pasar dengan bebas atau menimbulkan kerugian
kepadanya, sehingga ia tidak dapat bersaing dengan baik.
Keempat, price discrimination (diskriminasi harga). Pelaku monopoli memiliki
kekuasaan dengan intensif untuk melakukan diskriminasi harga. Melalui berbagai
cara, pelaku monopoli bisa memisah-misahkan pembeli dalam kelas yang belainan
dan menetapkan harga dengan ongkos yang lebih besar kepada pihak yang satu
daripada pihak yang lain. Para pelaku monopoli dapat melakukannya secara
terbuka, misalnya dengan menawarkan harga yang relatif lebih rendah kepada
anak-anak muda, pensiunan, mahasiswa, pegawai pemerintah atau menjual produk
yang sama dengan merek berlainan atau model biasa dan model luks. Diskriminasi
harga dapat dilakukan secara rahasia dengan menawarkan diskon lebih besar dari
ongkos atau harga jual dapat dihemat para pembeli besar sebagai hasil dari
jumlah penjualan. Diskriminasi harga itu bertujuan untuk memaksimalkan atas
benefits (keuntungan) pengusaha atau mematikan produsen lain yang
potensial menyaingi kegiatan usahanya.
Di Amerika Serikat, misalnya Undang-undang Anti Monopoli telah ada pada tahun
1890 dengan lahirnya The Sherman Antitrust Act. Undang-undang ini melarang
setiap bentuk praktek monopoli atas suatu produk atau pemasaran barang dan atau
jasa yang menghambat perdagangan (barrier trade) dalam kegiatan bisnis dan
melindungi usaha kecil yang lemah.
Isi penting dari larangan monopoli The Sherman Act antara lain memuat masalah
monopoli sebagai berikut :
Section 1 : ”Every contract, combination in the form of trust or otherwise, or
conspiracy, in restraint of trade or commerce among the several states, or with
foreign nations, is declared to be illegal …”.
Section 2 : “Every person who shall monopolize, or attempt to monopolize, or
combine or conspire with any other person or persons, to monopolize any part of
the trade or commerce among the several states, or with foreign nations, shall
be deemed guilty of a felony …”.
Larangan praktek monopoli dalam The Sherman Act ditekankan pada penguasaan
produksi dan pemasaran atas barang/jasa satu pelaku atau kelompok pelaku usaha
dengan unsur larangan monopoli ini, yakni ”possesion of monopoly power in
relevant market; willfull acquisition or maintenance of that power”. Artinya,
kekuasaan atas monopoli merupakan hal yang penting dalam pemasaran, karena
keinginan pengambilalihan atau menjaga agar kekuasaan tersebut tetap ada agar
tidak ada persaingan pihak lain.
Untuk memperoleh kekuatan pasar, maka pengusaha kuat melakukan tindakan dengan
menciptakan hambatan dalam perdagangan, menaikkan harga dan membatasi produk
barang/jasa guna mendorong terjadi inefisiensi sehingga tindakan demikian dalam
persaingan usaha yang sehat perlu dilakukan delegalisasi. Tiada persaingan
perusahaan dari lain merupakan keinginan atau tujuan utama pengusaha memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya. Keadaan ini menyebabkan konsumen dianggap sebagai
“sapi perahan” dan bukan “raja” dalam kegiatan ekonomi. Artinya, hak konsumen
untuk memperoleh harga wajar dan barang atau jasa yang baik diabaikan pengusaha
yang ingin mengeruk keuntungan bisnis dalam waktu singkat. Tidak jarang
pengusaha mempengaruhi tingkat penawaran meraih keuntungan berlipat ganda tanpa
mempedulikan tingkat kemampuan ekonomi dari konsumen yang lemah untuk
memperoleh barang/jasa. Sikap monopoli para pengusaha ini didasarkan pada akses
kondisi dari competititve viability.
Di dalam perkembangan dunia usaha di Amerika Serikat selanjutnya, maka para
pengusaha mempunyai berbagai cara untuk menghindarkan dikenakan The Sherman Act
dalam kegiatan usaha untuk memonopoli pasar. Ulah pemilik usaha ini ternyata
sangat merugikan kepentingan masyarakat.
Kemudian The Clayton Act lahir tahun 1914 sebagai penyempurnaan The Sherman Act
mengatasi usaha mengarah kepada praktek monopoli.
The Clayton Act memuat empat praktek illegal namun bukan dianggap melanggar
hukum, yakni
(1) price discrimination atau larangan diskriminasi harga,
(2) tying and exclusive dealing contracts atau penjualan barang membuat pihak
pembeli tidak dapat saling berhubungan dengan perusahaan yang lain,
(3) corporate mergers atau penggabungan perusahaan yang dapat menimbulkan
monopoli, dan
(4) interlocking directorates atau menduduki jabatan dari dua perusahaan yang
bersaing.
Pada tahun yang sama,
Kongres Amerika Serikat menerbitkan The Federal Trade Commision Act (FTC) untuk
melakukan investigasi, dengar pendapat atau menangani kasus-kasus pelanggaran
hukum antimonopoli (antitrustlaws).
Pasal 5 FTC diamandemen tahun 1938 menegaskan, “Unfair methods of competition
in or affecting commerce, and unfair or deceptive acts or practices in commerce,
are hereby declared unlawful” atau diterjemahkan adalah cara-cara persaingan
yang tidak terbuka atau berpengaruh terhadap perdagangan dan perbuatan atau
praktek-praktek tidak jujur dan penuh tipu muslihat dalam perdagangan adalah
perbuatan-perbuatan bertentangan dengan hukum.
Praktek monopoli dalam kegiatan bisnis sebenarnya tidak dilarang selama posisi
pasar yang bersifat monopolistik dalam suatu mekanisme pasar yang sehat
diperoleh dan dipertahankan melalui kemampuan, prediksi atau kejelian bisnis
yang tinggi serta tidak merugikan pihak-pihak lain sebagai sesama pelaku
ekonomi.
Suatu perusahaan yang mampu melakukan inovasi dengan adanya penemuan baru, maka
perusahaan tersebut mempunyai posisi dominan atau monopoli atas produk barang
tersebut. Monopoli atas penemuan baru itu diperoleh suatu korporasi
(perusahaan) berdasarkan pada ketentuan hukum yang mengatur tentang hak atas
kekayaan intelektual (HKI).
Adanya “payung hukum” demikian, monopoli mempunyai “kekuatan hukum” asalkan
dalam batas-batas tertentu yang tidak merugikan bagi kepentingan pihak lain
dalam kegiatan bisnis.
Demikian juga kalau terjadi suatu perusahaan yang tumbuh secara cepat dengan
menawarkan kombinasi antara kualitas barang dan jasa dengan harga yang
diinginkan oleh konsumen, pangsa pasarnya tumbuh dengan cepat, kemudian dapat
dikatakan perusahaan tersebut telah meningkatkan kesejahteraan ekonomi, baik di
pihak produsen maupun pihak konsumen. Tindakan monopoli dalam batas-batas
tertentu ini masih dapat ditolerir dalam aturan hukum, terutama karena dianggap
tidak merugikan kepentingan konsumen untuk memperoleh barang/jasa.
Praktik monopoli yang dilarang oleh undang-undang anti monopoli adalah monopoli
yang menyebabkan terjadinya penentuan pasar, pembagian pasar dan konsentrasi
pasar.
Sistem ekonomi pasar adalah cara terbaik guna menghindarkan praktek monopoli,
karena dalam pasar itulah terjadi persaingan sehat di antara para pelaku usaha
sehingga keluar sebagai “pemenang” adalah pihak yang benar-benar terbaik,
paling kuat dan paling sehat (survival of the fittest).
Pasar bebas dianggap paling mendekati keadaan atau sifat alam yang bebas dan
sehat dalam persaingan usaha sehingga gangguan dalam bentuk campur tangan dari
pemerintah menghambat seleksi alamiah yang sehat.
Pada era globalisasi ekonomi, keberadaan perdagangan dan pasar bebas ini tidak
dapat dihindarkan dalam persaingan usaha. Kesiapan pengusaha menyambut pasar
bebas diperlukan agar produk pengusaha nasional tidak kalah bersaing merebut
konsumen dari negara industri lain karena mengutamakan keunggulan kualitas
produk barang/jasa yang dimiliki untuk bersaing dengan suasana pasar yang
betul-betul sehat.
Pasar bebas adalah suatu mekanisme dalam kegiatan ekonomi yang terinci dan
terkoordinasi di bawah sadar manusia dan sektor usaha melalui sistem harga dan
pasar. Mekanisme ini merupakan alat komunikasi untuk menghimpun pengetahuan dan
tindakan jutaan orang yang berlainan kepentingan dan tersebar di mana-mana
dalam memilih suatu produk barang dan atau jasa yang diinginkannya. Tidak ada
seorang pun dengan sengaja dapat merancang pasar, namun pasar tetap dapat
berfungsi dengan baik sesuai dengan mekanisme yang ada. Pasar adalah suatu
mekanisme pada saat pembeli dan penjual suatu komoditi mengadakan interaksi
untuk menentukan harga, kualitas dan kuantitas produk, sehingga harga
disepakati bersama merupakan poros penyeimbang dalam mekanisme pasar yang
terkendali.
Pasar demikian merupakan pasar yang dapat dioperasionalkan dengan efisien
sepanjang pelaku usaha melakukannya dalam ”market in ideas”.
Pada era globalisasi ini, selera konsumen dapat berubah atau diubah dengan
cepat. Umumnya “daur hidup” suatu produk barang makin lama makin pendek, karena
adanya penemuan baru. Hal ini berarti dalam pasar bebas, persaingan antar
perusahaan semakin tajam dan dalam prosesnya menuntut pula sistem pemasaran
yang cepat dan murah atau mempengaruhi selera serta keinginan konsumen dengan
tepat. Menghadapi persaingan semakin tajam, dorongan untuk memanipulasi
informasi bagi konsumen oleh produsen di tanah air akan semakin besar pula
dengan munculnya praktek monopoli dan oligopoli. Tuntutan peningkatan etika
bisnis yang baik semakin keras. Masyarakat mengharapkan pelaku usaha bersaing
sehat dengan melindungi kepentingan konsumen. Bobot reputasi usaha semakin besar
dalam persaingan bisnis, apabila mampu mempertahankan dan mengembangkan produk
barang/jasa berkualitas tinggi.
Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 menimbulkan persoalan pelaku usaha yakni
dihadapkan undang-undang itu pada struktur dunia bisnis dibangun rejim Orde
Baru, yang toleran bahkan pragmatis ditetapkan dalam kebijakan ekonomi
pemerintah dalam bentuk monopoli dan oligopoli. Saat itu dunia bisnis Indonesia
hanya berfungsi sebagai simpul pertemuan pelaku usaha sebagai pemburu rente
(rente seeker) dan pejabat korup untuk bertujuan membangun kekuasaan. Situasi
demikian berimplikasi ekonomi-politik dengan ketergantungan dunia usaha
terhadap pemerintah berkuasa.
Kebijakan Pemerintah melalui Garis-garis Besar Haluan Negara bidang ekonomi
waktu itu menetapkan bahwa jangka panjang dunia usaha memainkan peran sebagai
motor penggerak pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Wajar diberikan fasilitas dan
konsesi bagi pengusaha besar atau konglomerat yang berani berinvestasi berupa
proteksi dan hak monopoli.
Pada perspektif industrialisasi nasional semua hal itu memperoleh pembenaran.
Setiap negara yang baru muncul dalam membangun industri (infant industry)
memilih untuk memproduksi barang pengganti impor dan membutuhkan proteksi pasar
nasional. Industri pemula, tingkat efisiensi dan produktivitas masih rendah
sehingga harga produksi cenderung mahal dan mutunya di bawah standar. Para
pengusaha nasional saat itu belum mampu menciptakan dan merebut pasar
(customize market), baik di dalam maupun luar negeri sehingga produk pengusaha
perlu diproteksi dengan memberi kemudahan usaha. Pada jangka panjang, kebijakan
ini dimaksudkan untuk mendidik dunia usaha mampu memenuhi kebutuhan dalam
negeri dan meningkatkan devisa ekspor dari barang/jasa dihasilkan dengan
kekuatan sendiri dalam kegiatan ekonomi.
Perkembangan selanjutnya, kebijakan ini menjadi salah arah. Proteksi masih
tetap diberikan pada saat dunia usaha harus menghadapi persaingan global yang
semakin ketat.
Kesadaran baru muncul ketika budaya bisnis protektif, monopolistik dan
oligopolistik menyebabkan terjadi krisis ekonomi tahun 1997 dan semua ini
berjalan lama dan secara struktural menjadi pola dunia usaha dari Orde Baru.
Dampak dari pola demikian telah melahirkan pola konglomerasi secara eksesif
merusak tatanan ekonomi dan menghambat tercipta demokrasi ekonomi dalam Pasal
33 UUD 1945. Tindakan itu dilakukan dengan tidak memberikan peluang sama bagi
pengusaha terutama pengusaha ekonomi lemah. Kondisi pasar yang diciptakan Orde
Baru bukan pada iklim usaha yang sehat, efektif dan efisien akan tetapi justru
mendorong terjadi praktik monopoli dan oligopoli.
Kondisi pasar monopoli dan tidak sehat ini merugikan dalam persaingan bisnis.
Ada tiga ekses akibat pasar monopoli-oligopoli :
Pertama, praktek bisnis monopolistik-oligopolistik adalah tidak adil dan tidak
seimbang dalam mendistribusikan kekayaan ekonomi melalui beban rakyat dan
keuntungan transaksi ekonomi diperoleh pelaku usaha.
Kedua, praktek bisnis monopolistik dan oligopolistik menciptakan inefisiensi
ekonomi.
Ketiga, akibat ekonomi dan bisnis dikelola tidak rasional dan tidak transparan.
Keputusan politik dalam kegiatan bisnis diarahkan pada keuntungan segelintir
pengusaha yang dekat dengan penguasa.
Muara dari ketiga persoalan di atas adalah terciptanya pasar domestik yang
distortif atau terganggu. Keadaan distorsi ini terjadi, baik secara sektoral,
regional maupun internasional yang sangat berpengaruh pada harga dan persaingan
usaha yang sehat. Akibat distorsi ini adalah sukar terdeteksi kemampuan pasar
dan pelaku usaha yang sebenarnya bersaing secara fair dalam kegiatan bisnis
yang keras. Selain itu, sentimen pasar menjadi kabur dan irasional sehingga
tidak terkendali secara wajar yang merugikan konsumen. Pasar menurut doktrinnya
untuk mengejawantahkan ordo atau tatanan ekonomi yang harmonis berubah menjadi
chaos and unpredicted.
Perubahan mendasar, perlu dilakukan guna memperbaiki sistem pasar yang baik.
Memperbaiki struktur pasar bukan pekerjaan yang mudah akan tetapi bukan pula
sulit jika ada kesamaan persepsi dalam rangka penerapan UU No. 5 Tahun 1999
pada tiga hal.
Pertama, UU ini secara subtansif memberi kepastian hukum bahwa iklim kebebasan
berusaha memuat semangat ekonomi pasar bebas dan terbuka, hak dan kepentingan
semua pihak tidak dilanggar secara unfair.
Kedua, UU ini dapat melindungi dan menjaga persaingan yang sehat di antara
berbagai kekuatan ekonomi di pasar. Perlindungan dan jaminan terutama melalui
“aturan main” yang transparan dan positif.
Ketiga, UU ini harus secara tegas memberikan kesempatan pelaku ekonomi lemah
dapat berkembang bebas mel
akukan transformasi skala usaha ke arah yang lebih luas. Kesempatan ini
seyogianya dapat dimanfaatkan oleh setiap usaha mikro, kecil dan menengah.
Sejauhmana masyarakat bisnis memperoleh persepsi yang sama pada substansi UU
No. 5 Tahun 1999. Artinya, undang-undang itu harus dapat menghilangkan monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat merugikan kegiatan bisnis mengingat adanya
sanksi pelanggaran usaha berupa sanksi administratif, sanksi pidana dan pidana
tambahan.
Sosialisasi UU No. 5 Tahun 1999 secara intensif dilakukan tidak hanya pada
lapisan masyarakat produsen (pengusaha) akan tetapi juga pada kalangan
masyarakat konsumen menghindarkan terjadi peningkatan pelanggaran usaha. Pihak
konsumen harus dilindungi dari produk barang/jasa para produsen yang tidak
berkualitas dan merugikan masyarakat. Perlindungan usaha lemah dan konsumen
diutamakan untuk menciptakan harmonisasi usaha yang sehat pada kegiatan bisnis.
Implementasi undang-undang ini harus dapat pula memperbaiki kondisi pasar yang
sehat dan adil bagi kegiatan bisnis di Indonesia
Internet sudah merupakan bagian dari kehidupan yang menghubungkan setiap bagian dari kehidupan kita. Internet merupakan bagian dari mekanisme telekomunikasi yang bersifat global yang fungsinya menjadi jembatan bebas hambatan informasi.
Contoh Kasus Anti Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Perkembangan dunia maya tersebut ternyata membuat dan menciptakan berbagai kemudahan dalam hal menjalankan transaksi, dunia pendidikan, perdagangan, perbankan serta menciptakan jutaan kesempatan untuk menggali keuntungan ekonomis. Peperangan antara Microsoft dengan departemen Antitrust, dimana perusahaan milik Bill Gates dianggap melanggar ketentuan tentang hukum antimonopoli, sehubungan dengan program terbaru Microsoft tahun 1998, dituduh dapat merugikan pihak lain karena program “browser” yang dapat digunakan untuk menjelajah dunia maya itu melekat didalamnya.
Contoh Kasus Anti Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Perkembangan teknologi informasi (TI) yang demikian cepat tidak hanya menciptakan berbagai kemudahan bagi pengguna, tapi juga membuka sarana baru berbagai modus kejahatan. Ironisnya, dari hari ke hari, cybercrime kian meningkat, baik kuantitas maupun kualitasnya. Meski penetrasi TI masih rendah, nama Indonesia ternyata begitu populer dalam kejahatan di dunia maya ini. Berdasarkan data Clear Commerce, tahun 2002 lalu Indonesia berada di urutan kedua setelah Ukraina sebagai negara asal carder (pembobol kartu kredit) terbesar di dunia. Contoh Kasus Anti Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Contoh Kasus Anti Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Microsoft dikenal sebagai penyedia software-software proprietary, yang artinya, perusahaan akan menutup rapat kode programnya dan mengelolanya secara rahasia. Di lain pihak, Red Hat adalah distributor Linux yang merupakan software open source. Software jenis ini bisa dilihat kode programnya, pengguna juga bebas memodifikasi dan mendistribusikannya kembali ke orang lain. Red Hat Enterprise Linux, menurut Manager Produk Red Hat, dinilai sebagai contoh proyek open source yang paling sukses yang pernah dijual secara komersil.
Microsoft belum menunjukkan tanda-tanda akan meredupkan semangatnya untuk berkompetisi. Tapi, sudah menunjukkan kemauan bekerjasama dengan rivalnya. Salah satu contoh yang bisa dibilang penting adalah kerjasama dengan Sun Micrsystems pada bulan April 2004. Contoh Kasus Anti Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Kerjasama tersebut menelurkan kesepakatan anti-monopoli antara Microsoft dengan Sun, dan keduanya sepakat untuk berbagi hak paten dan menjamin bahwa produk-produk dari kedua perusahaan tersebut bisa berinteroprasi.
Microsoft juga telah menyelesaikan kasus anti-monopoli dengan perusahaan pembuat software seperti Burst.com, Novell dan America Online milik Time Warner.Contoh Kasus Anti Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.